RUKUN WARGA 011 PERUM BEKASI TIMUR REGENSI

-

Rabu, 25 Oktober 2017

Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi








Kata “Bekasi” berdasarkan penelusuran Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno), secara filologis berasal dari kata Candrabagha; Candra berarti bulan (dalam bahasa Jawa Kuno berarti “sasi”) dan bagha berarti bagian. Sehingga Candrabhaga berarti bagian dari bulan. Dalam pelafalannya Candrabhaga sering disebut Sasibhaga atau Baghasasi. Dalam pengucapannya seringkali disingkat Bhagasi, dan karena adanya pengaruh bahasa Belanda maka sering ditulis Bacassie, kemudian kata Bacassie berubah menjadi Bekasi hingga kini. Masa Kerajaan.. Candrabhaga (asal muasal kata “Bekasi”) merupakan wilayah bagian dari Kerajaan Tarumanegara yang berdiri pada abad ke-5 Masehi. Diduga, berdasarkan Prasasti Tugu (yang berada di Cilincing, Jakarta) digambarkan bahwa Raja Kerajaan Tarumanegara (Maharaja Purnawarman) memerintahkan untuk menggali Kali Candrabhaga, dengan tujuan untuk mengairi sawah dan menghindari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan Tarumanegara. Setelah runtuhnya Kerajaan Tarumanegara pada abad ke-7 Masehi, kerjaan yang memiliki pengaruh cukup besar terhadap wilayah Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran. Hal ini terlihat dari situs sejarah Batu Tulis (di Bogor) yang menggambarkan bahwa Bekasi merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi para pedagang, sehingga Bekasi menjadi kota yang sangat penting bagi Padjadjaran. Seiring waktu berlalu, kerajaan-kerajaan tumbuh, berkembang,mengalami masa kejayaan,runtuh, muncul kerajaan baru. Kedudukan Bekasi tetap menjadi posisi strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan. Terakhir Bekasi tercatat dalam sejarah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian wilayah Kerajaan Mataram. Masa pendudukan Belanda... Sejarah Bekasi pada masa pendudukan Belanda, hamper sama dengan sejarah Indonesia secara umum, karena letaknya berdekatan dengan Jakarta, maka sejarah Jakarta mulai dari Jayakarta, Batavia, Sunda Kelapa, hingga Jakarta yang kita kenal sekarang melekat erat dengan Bekasi. Berawal pada tahun 1610, saat Pangeran Jayakarta Wijayakrama mulai melakukan perjanjian dagang dengan VOC (VerenidgeOost-indische Compagnie / semacam Kamar Dagang Belanda). Kemudian pada tahun 1614, Gubernur Jendral VOC mendapat ijin mendirikan benteng di sebelah utara keraton, dan pada tahun 1618 Gubernur Jendral Jan Pieterszoon Coen memperluas benteng hingga menjadi bangunan yang kokoh dengan setiap sudut benteng ditempatkan meriam yang mengarah ke keraton. Tindakan provokasi dan mengancam ini, menimbulkan kemarahan Pangeran Jayakarta yang kemudian menyerang benteng ini. Serangan ini rupanya sudah diantisipasi VOC, maka terjadilah pertempuran antara pasukan Pengeran Jayakarta dengan VOC (April-Mei 1619). Sejarah Indonesia mencatat inilah awal bangsa Belanda mulai menancapkan kuku penjajahannya di bumi Indonesia. Setelah menguasai Jayakarta yang kemudian diubah namanya menjadi Batavia (1619), Belanda berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga Kerajaan Mataram, karena kerajaan Mataram mempunyai pengaruh yang sangat besar di Pulau Jawa. Upaya Belanda ini menimbulkan kemarahan Raja Mataram, Sultan Agung Hanyokrokusumo. Pada tahun 1628, Sultan mengerahkan pasukan angkatan lautnya sebanyak 2 begodo (setingkat brigade) untuk menyerang Batavia. Namun karena jarak dan waktu yang lama, serangan ini dapat digagalkan Belanda karena kalah persenjataan dan kekurangan pasokan logistic pasukan. Walaupun mengalami kekalahan, pasukan Mataram kembali melakukan penyerangan gelombang kedua. Mereka berangkat ke Batavia pada pertengahan Mei 1629. Pada tanggal 20 Juni 1629 pasukan infantri Kerajaan Mataram yang dipimpin oleh Kyai Adipati Juminah, Kyai Adipati Purbaya, dan Kyai Adipati Puger dengan dibantu oleh Tumenggung Singaranu, Raden Aria Wiranatapada, Tumenggung Madiun dan Kyai Sumenep, menyerbu Batavia. Sepanjang rute perjalanan ke arah Batavia sudah dipersiapkan logistic pasukan. Sejarah mencatat daerah suplai logistik tersebut berada di sekitar wilayah Tegal, Cirebon, Indramayu, Karawang, dan Bekasi (di daerah Babelan). Pasukan Mataram mengepung Batavia dari segala penjuru, tetapi kemudian ternyata Belanda dapat mempertahankan Batavia, bahkan dapat memaksa mundur pasukan Mataram ke daerah pedalaman. Kegagalan ini menyebabkan sebagian besar pasukan Mataram memilih tidak kembali ke Mataram karena titah Raja Mataram (Sultan Agung), akan memenggal kepala pasukan yang kembali ke Mataram apabila gagal dalam penyerangan ke Batavia tersebut. Akhirnya pasukan Mataram ini menetap di wilayah Bekasi dan membaur dengan penduduk asli, terutama di sekitar daerah pantai dan pedalaman, misalnya di Pekopen (Tambun Selatan), Cibarusah, Pondok Rangon dan ada juga yang membuka perkampungan baru. Karenanya di Bekasi terdapat daerah-daerah yang berbahasa Sunda, dialek Banten, Jawa atau campuran. Masa Pemerintahan Hindia Belanda.. Bekasi pada masa ini masuk ke dalam wilayah Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District Bekasi pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang subur, terdiri atas tanah-tanah partikelir (tuan tanah) yaitu para pengusaha Eropa dan para saudagar Cina. Distrik Bekasi terkenal subur dan produktif dibanding distrik-distrik yang lain, namun demikian yang menikmati kesuburan tanah Bekasi adalah para tuan tanah, bukan rakyat Bekasi yang masih dalam kondisi serba sulit dan kekurangan. Pada tahun 1913 di Bekasi muncul organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat sebagian besar petani, guru ngaji, bekas tuan tanah, dan pejabat yang dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai rampok Budiman (merampok untuk dibagikan kepada orang miskin). Karena jumlah anggotanya cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi kekuatan yang dominan. Antara tahun 1913-1922 SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) hingga pemogokan pembayaran “cuke” (1918). Masa pendudukan Jepang.. Kedatangan Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat Indonesia memperkuat anggapan eksatologis Ramalan Jayabaya, dalam buku “Jangka Jayabaya”, mengungkapkan : ‘‘...suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai ratu adil yang kelak akan melepaskan Indonesia dari belenggu penjajah...” Pada awalnya penaklukan Belanda oleh Jepang disambut dengan suka cita, karena dianggap sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan, dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan itu hanya sekejap, selang seminggu Pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran Sang Merah Putih dan Lagu Indonesia Raya diganti dengan pengibaran bendera “Matahari Terbit” dan lagu “Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang yang semula dibanggakan sebagai “saudara tua” memulai babak baru penjajahan di Indonesia. Kekejaman semakin kentara, ketika menginstruksikan seluruh rakyat Bekasi untuk berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman pancung terhadap penduduk Telukbuyung yang dianggap bersalah. Hukum pancung ini sebagai shock teraphy agar menimbulkan efek jera dan takut bagi rakyat Bekasi terhadap Pemerintah Jepang. Selain itu Jepang juga memberlakukan ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi dihimpun dan wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang dalam rangka menunjang Perang Asia Timur Raya. Akibatnya rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, dan diperparah dengan adanya “romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan penetrasi kebudayaan terhadap rakyat Bekasi, seperti belajar semangat “bushido” (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang), pembentukan Seinenden, Keibodan, Heiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA). Selain organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi berhimpun dalam organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB). GPIB ini didirikan pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at mengadakan pengajian di Masjid Al-Muwahiddin (Bekasi), para anggotanya terdiri atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum, dan pemuda “pasar” yang buta huruf. Pada awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal tahun 1944, digantikan oleh Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan, GPIB memiliki banyak anggota dan bermarkas di rumah Hasan Sjahroni di daerah pasar Bekasi. Banyak anggota GPIB bergabung ke BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH. Noer Ali. GPIB banyak memiliki cabang antara lain : GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki Urmaini dan Muhayar), GPIB daerah Ujung Malang (KH.Noer Alie), GPIB Daerah Tambun (Angkut Abu Gozali), GPIB Karnji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Daerah Cakung (Gusir). Masa Kemerdekaan.. Pada awal Agustus 1945, tanda-tanda kekalahan Jepang dari sekutu kian santer terdengar, terutama di kawasan Asia Pasifik. Setelah bom atom menghujani Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah. Gelora kemerdekaan menggema hingga ke pemuda dan rakyat Bekasi. Antusiasme rakyat Bekasi tercermin pada saat diminta mengawal dan menjaga keamanan Bung Karno dan Bung Hatta beserta rombongan yang bergerak ke Rengas-dengklok. Jalur lintas perjalanan rombongan tersebut melewati wilayah Kecamatan Kedungwaringin, Cikarang Timur, dan Karang Bahagia. Rakyat Bekasi menyebut jalur ini dengan Jalan Lintas Proklamator. Esok harinya, hari Jum’at, 17 Agustus 1945 Pukul 10.00 WIB Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya di Pegangsaan Timur 56. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno – Hatta membacakan Teks Proklamasi yang kemudian disiarkan ke seluruh pelosok Indonesia. Rakyat Indonesia, termasuk rakyat Bekasi menyambut dengan penuh suka cita kemerdekaan tersebut. Sisi lain kabar gembira ini juga menimbulkan kebencian terhadap tentara Jepang, rakyat melampiaskan kemarahannya yang sudah lama terpendam akibat kekejaman tentara Jepang. Peristiwa pelucutan senjata dan pembunuhan juga terjadi di Bekasi, seperti pembunuhan tuan tanah Telukpucung dan penahanan 49 truk milik Jepang (25 Agustus 1945), serta sebuah epos yang memiliki arti yang sangat dalam bagi rakyat Bekasi, keberanian rakyat Bekasi, sekaligus tragis, yaitu Insiden Kali Bekasi yang terjadi pada tanggal 19 Oktober 1945, yaitu pembantaian 90 orang tawanan Jepang oleh rakyat Bekasi di tepi Kali Bekasi. Selain itu terjadi pula Peristiwa Bekasi Lautan Api, yaitu pembumihangusan Bekasi oleh tentara sekutu, Kampung Dua Ratus terbakar, kemudian meluas ke Kayuringin, Telukbuyung, Teluk Angsan dan Pasar Bekasi. Bekasi Timur dan Bekasi Barat berubah seperti api unggun raksasa. Terbentuknya Kabupaten Bekasi.. Berawal pada tanggal 17 Januari 1950, para pemimpin dan tokoh rakyat Bekasi, seperti R. Soepardi, KH. Noer Alie, Namin, Aminudin, dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi” dan mengadakan rapat akbar di Alun-Alun Bekasi. Rapat raksasa tersebut dihadiri oleh ribuan rakyat dari berbagai pelosok Bekasi, dihasilkan beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, antara lain menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi. Resolusi itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana (R. Harun). Tuntutan tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”. Kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor : 14 Tahun 1950 yang ditetapkan pada tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-Kabupaten di Propinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang berlakunya Undang-Undang No.14 Tahun 1950 tersebut, maka Kabupaten Bekasi secara resmi terbentuk pada Tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumahtangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Pemerintah Daerah pada sat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II kabupaten Bekasi, bahwa Tanggal 15 Agustus 1950 sebagai HARI JADI KABUPATEN BEKASI, dan sebagai Bupati Bekasi Pertama adalah R.Suhandan Umar (sebelumnya Bupati Jatinegara). Kedudukan kantor Pemerintah Daerah Kabupaten Bekasi tetap di Jatinegara (sekarang Markas Kodim 0505 Jayakarta, Jakarta). Dalam perjalanannya kemudian, Kabupaten Bekasi mengalami perkembangan yang sangat pesat, menjadi kawasan industry yang mendunia, kawasan industry yang tidak hanya berisi pabrik-pabrik, tapi juga berdiri plaza, mal, perumahan, lapangan golf, pusat bisnis bahkan sekolah-sekolah unggulan. Di sisi lain, Kabupaten Bekasi kini telah mengalami pemekaran wilayah dengan terbentuknya Kota Bekasi, maka kini pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi berada di Cikarang Pusat (DesaSukamahi). Dengan terbentuknya Kota Bekasi, kita harus mampu menggali nilai-nilai kesejarahan yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi tanpa harus meninggalkan kebersamaan sejarah dengan Kota Bekasi. Hal itu mampu meningkatkan rasa kebanggaan dan rasa memiliki yang tinggi sebagai warga masyarakat Kabupaten Bekasi.
Share:

1 komentar:

Copyright © Media Informasi Rukun Warga 011 | Powered by Sudiyo.ST Distributed By erwesebelas.com & Design by BE IT SOLUTION | Kab.Bekasi New